Rabu, 25 September 2013

Pengalaman Melahirkan Anak Pertama

22 Agustus 2013

Alhamdulillah telah lahir putri pertama kami, yang diberinama Ryuvara Arunada Danusastro. Nama tersebut diambil dari bahasa Sangsekerta, dari buku yang sama dengan buku yang dipakai oleh orangtuaku untuk memberinama aku dan adikku belasan dan puluhan tahun yang lalu. Putri kami lahir pada hari Rabu, 24 Juli 2013, jam 5.12 di RSIA Kemang Medical Care -Jakarta.
                                     Vara saat dibersihkan suster

Tanggal tersebut sangat sesuai dengan HPL, tepat saat kandunganku berusia 40 minggu. Sejak hari Senin pagi, 22 Juli 2013 aku menemukan bercak darah di celana dalam. Kugunakan pembalut, dan saat bangun dari tidur siang, bercak semakin bertambah. Ku SMS dokter  Agung –dokter kandunganku di RSIA KMC- memberitahukan terkait bercak ini, meskipun aku bilang kontraksi yang kurasakan belum teratur. Dr. Agung memintaku segera ke RS, langsung ke ruang persalinan untuk dicek apakah kontraksiku memang sesuai harapan, kontraksi menjelang persalinan. Langsung kutelepon suamiku di kantor dan minta untuk segera diantar ke RS. Sore itu kami langsung ke ruang persalinan, aku di cek menggunakan CTG dan ternyata belum ada kontraksi menjelang persalinan.  Saat pemeriksaan serviks, ternyata  baru bukaan setengah. Malam itu kami sempat belanja dahulu di Tip Top Ciputat karena keperluan rumah tangga memang sudah banyak yang habis. Sekalian aku jalan-jalan untuk mempercepat bukaan.
Besok paginya sehabis suamiku sahur, kurasakan kontraksi semakin beraturan, dan semakin tinggi intensitasnya. Hampir setiap 10 menit sekali. Siap-siap, kami mandi, bahkan aku sempat dandan dan bergurau “Kris Dayanti aja dandan pol pas mau ngelahirin.” Tas yang sudah aku persiapkan sejak 36 weeks, bantal, guling dan ransum (makanan kecil dan minuman) langsung dibawa. Suamiku mengira hari itu, 23 Juli 2013 bayi kami akan lahir. Aku pikir dengan kontraksi seperti itu, aku sudah bukaan 3 atau 4. Sesampainya di RS, petugas langsung membawaku dengan kursi roda dan kembali lagi ke ruang persalinan. Hasil CTG memperlihatkan kontraksiku sudah semakin bertambah, yang sebelumnya tercatat sekitar 20-30 an, meningkat menjadi 70-80 an, namun intensitas kontraksi menjelang persalinan umumnya sekitar 1 menit, sedangkan kontraksiku baru sekitar 20 detik. Ketika diperiksa serviks, ternyata baru bukaan 1. OMG, aku langsung shock, membayangkan sakitnya bukaan 2 dan seterusnya. Bukaan 1 saja rasanya sudah dahsyat sekali. Apalagi pemeriksaan serviks yang dilakukan oleh suster saat ini lebih kasar dan sakit dibandingkan suster sebelumnya. Aku semakin merasa down saat suster bilang kalau bisa makan dan ketawa tandanya belum mendekati persalinan. Aku diminta pulang oleh suster, dan diminta check up lagi besok sesuai dengan jadwal. Tak puas  karena tidak bertemu langsung dengan dokter, aku  kemudian mengantri  lagi untuk check up dokter. Kontraksi masih sama, kurasakan 10 menit sekali. Saat itu sekitar pukul 7 pagi, padahal dokter baru datang sekitar jam 10. Karena dokter belum datang aku dan suami memutuskan untuk menunggu di mobil karena kami mengantuk sejak subuh sudah di RS. Aku mulai tidak bisa tidur karena semakin kuatnya intensitas kontraksi.
Di ruang pemeriksaan, saat bertemu dengan dokter Agung, tak tahan aku mengeluarkan air mata dan bilang ke dr. kalau kontraksiku sakit sekali. Sebenarnya aku lebih merasa down karena omongan suster membayangkan bagaimana rasanya bukaan 2 dan selanjutnya, mengingat saat itu terasa dasyat sekali dan ternyata baru bukaan 1. Aku memang masih bisa makan dengan lahap dan tertawa, tapi apakah hanya itu indikatornya? Penjelasan dr. Agung cukup menenangkanku. Dr Agung bilang bahwa memang toleransi terhadap rasa sakit setiap orang berbeda-beda, namun belum tentu ketika bukaan bertambah rasa sakit yang dirasakan juga semakin meningkat. Pemeriksaan USG diketahui bahwa posisi bayi masih sama seperti saat pemeriksaan 39 weeks, belum turun panggul. Mata, hidung dan mulut bayi masih terlihat. Plasenta dan air ketuban dinilai masih cukup baik, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Saat diperiksa serviks dr. bilang aku masih bukaan 1. Dr. Agung meminta aku tetap tinggal di RS dan di observasi selama 6 jam. Diminta untuk sering jalan-jalan untuk meningkatkan kontraksi.
Kembali ke ruang persalinan (ruang observasi) aku langsung dengan lahap menyantap makan siang. Untung aku membawa buku komik tentang biografi GusDur yang bisa sedikit mengusir kebosanan di RS. Sekedar tips untuk yang hendak melahirkan, jangan lupa bawa buku bacaan atau games supaya tidak bosan. 2 jam pertama sehabis makan, aku tidur di ruang observasi, kadang ngemil coklat dan minum air. Baca-baca, kemudian aku jalan-jalan di lorong RS. Balik dari jalan-jalan, ternyata  ada yang hendak melahirkan. Ruanganku dipindah ke ruang sebelah. Kulihat seorang calon ibu dengan muka pucat yang kudengar dari suster sudah bukaan 9, masuk ke ruang bersalin. Tak lama terdengar suara bayi. Subhanallah, aku merasa sangat lega mendengar tangis bayi. Ingin rasanya cepat-cepat aku juga mendengar tangis bayiku. Di ruang observasi baruku, ada juga seorang calon ibu yang ku dengar sudah masuk 41 weeks. Awal aku masuk, aku dengar si calon ibu dikunjungi temannya, dan mereka masih ketawa-ketiwi dan bercerita tentang kehamilan dan pekerjaan mereka. Si calon ibu ini diinduksi karena bayinya tidak mau keluar-keluar, padahal sudah lewat HPL. Kira-kira sejam berselang, teman si calon ibu sudah pulang dan kudengar sepi di ruang sebelah yang hanya dibatasi oleh tirai. Tidak lama kemudian kudengar si ibu mengadu kepada dr. Hari (dokternya ibu ini) bahwa dia merasa tidak tahan, sakit sekali.  
Berada di ruang observasi dan menyaksikan calon ibu lain yang hendak bersalin ternyata menambah kelelahan mental buatku. Apalagi saat 6 jam berlalu dan dr. Agung kembali memeriksa serviksku, ternyata bukaan masih 1 dan belum bertambah. Bahkan kontraksiku semakin jarang dibanding saat pagi hari. Hasil jalan-jalanku entah bagaimana justru membuat kontraksi semakin jarang, dan membuatku semakin bisa mentoleransi rasa sakit. Aku disarankan untuk pulang saja. Perkiraan dr. kemungkinan kelahiran lebih dari tanggal HPL, namun dr. Agung meminta untuk tidak bosan segera ke RS bila kontraksi sudah lebih teratur kira-kira 5 menit sekali dengan durasi kira-kira 1 menit, atau 3 kali dalam 10 menit. “Kira-kira hari Jumat atau Sabtu bu, kalau tidak lahir juga, akan diinduksi”. Sore itu mama dan mertuaku datang ke RS. Mengira cucu mereka akan segera lahir. Mama dan ibu mertua menyarankan untuk tinggal di RS saja. Namun karena dr. memperkirakan masih Jumat atau Sabtu kemungkinannya, dan merasa lebih nyaman di rumah, aku dan suami memutuskan untuk pulang. Akhirnya kami semua hanya makan malam sekalian buka puasa bersama di warung soto dekat RS. Sakit kontraksi masih teratur kurasakan.
Di rumah aku meminta suamiku untuk searching terkait dengan sakit kontraksi dan cara-cara untuk mempercepat kontraksi. Hasil searching yang ditemukan rata-rata sudah hapal kuketahui, banyak jalan, ngepel jongkok dll. Hasil searching itu membuat suamiku memaksaku untuk terus beraktifitas. Malam itu aku berusaha untuk membantu suamiku menyetrika, tapi aku sudah tak sanggup.  Saat mandi, aku benar-benar menangis dan berdoa memohon kemudahan dalam proses persalinan, aku memohon kekuatan dan kebijaksanaan. Aku juga ngobrol dengan bayiku “Baby tolong lahir pas HPL ya, lahir tanggal 24 Juli. Kalau bisa jangan sampai mama diinduksi dan di caesar. Kalau bisa normal saja.” Tapi aku mohon kepasrahan untuk menerima apapun ketetapan Tuhan.  Malam itu kira-kira jam 11 aku mulai merasakan kontraksi yang teratur. Namun rasanya berbeda dengan kontraksi sebelumnya. Sebelumnya sakit di perut, namun kali ini sakitnya di belakang punggung. Serasa ingin pup. Kontraksi ini teratur kurasakan sampai kira-kira jam 4 pagi. Kuminta suamiku mencatat kontraksi dengan aplikasi kontraksi yang sudah di downloadnya  di smartphone. Awalnya kontraksi sekitar 10 menit sekali, lama-lama sekitar 5 menit. Di sela-sela itu suamiku bilang aku masih bisa ngorok tertidur, meskipun rasanya aku tidak bisa ternyenyak tidur. Saat kontraksi datang, kuremas-remas tangan suamiku. Dari awalnya di remas, seiiring dengan bertambahnya intensitas kontraksi, kugigit tangannya. Dari yang awalnya teriak, sampai akhirnya suami pasrah dan dengan sukarela memberikan tangannya. Untunglah kami memutuskan untuk pulang ke rumah, karena di rumah suamiku bisa santai menemaniku sambil bermain PS. Sekitar jam 4 pagi, aku semakin merasa tidak tahan, dan sudah ingin mengejan. Saat sahur itu, mamaku menelepon dan menanyakan keadaanku. Aku berteriak supaya mama menutup telp segera karena kontraksiku datang, dan aku butuh tangan suamiku untuk kuremas, dan pertolongannya untuk memijat punggungku. Suamiku lalu memeriksa bagian pantat, ternyata sudah basah, sepertinya ketuban sudah merembes.
Suamiku langsung menyuruhku bersiap ke RS. Saat itu aku sudah tidak bisa berpikir. Rasanya lebih baik secepatnya mengejan, sampai aku bilang ke suami untuk memanggil bidan di dekat rumah saja. Tanpa mandi, apalagi berdandan, aku langsung masuk ke mobil. Suamiku langsung ganti baju, dan membawa segala keperluan yang terpikir. Aku sudah tidak mampu melakukan apapun selain duduk dan membawa guling. Begitu masuk mobil aku langsung tiduran di belakang dengan bantal guling dan selimut. Aku berteriak meminta suamiku hati-hati ketika kontraksi datang dan mobil melewati jeglukan. Ciputat- Kemang hanya 10 menit di pagi itu.
Begitu sampai di RS, aku langsung didorong dengan kursi roda. Petugas pendorong kursi memintaku untuk menarik napas teratur. Dengan tidak tahu diri,  petugas itu aku minta untuk memijit punggungku karena rasanya sakit sekali. Mungkin karena menurut dr. letak rahimku di belakang, sehingga sakit persalinan kurasakan sangat menekan di bagian punggung. Begitu sampai di ruang persalinan, suster memintaku untuk berbaring dan akan melakukan prosedur CTG. Aku meminta untuk dilakukan pemeriksaan serviks dulu untuk mengetahui bukaan  sebelum CTG karena rasanya aku sudah mau mengejan. Suster memeriksa dan mengatakan sudah bukaan 4 dan segera menelepon ke dr. Agung. CTG tidak jadi dilakukan. Suamiku langsung menelepon  mama dan okasan (ibu mertuaku) mengatakan aku sudah di ruang bersalin RS dan perkiraan lahir sekitar jam 10 pagi.
Namun beberapa saat kemudian, kulihat di sebelah kananku pisau dan peralatan persalinan sudah disiapkan.  Suster menginformasikan bahwa dr. Agung masih di RSPAD, sehingga proses persalinan akan digantikan oleh dr. Hari yang sebelumnya baru saja membantu persalinan jam 2 pagi. Dasterku langsung diganti baju rumah sakit, dan tidak beberapa lama kemudian, dr. Hari datang dan mengatakan aku segera akan melahirkan. Dokter menanyakan sedikit tentang riwayat kehamilanku. Ternyata ketika tiba di RS aku sudah bukaan 7. Entah karena takut aku panik, suster berbohong bahwa aku baru bukaan 4.  Ketubanku lalu dipecahkan dengan hanya sekali tusukan dengan gunting (rasanya sih seperti itu karena aku sudah tidak bisa melihat apa yang terjadi). Terasa air mengalir. Suster mengatakan tunggu perintah dr. untuk mengejan, baru aku boleh mengejan ketika kontraksi datang. Namun, aku sudah tidak tahan, aku mengejan dan ternyata aku pipis. Suster meminta aku untuk istigfar dan berzikir. Ketika kontraksi datang, tidak lama aku diminta untuk mengejan. Ternyata  kepala bayi tidak muat, sehingga sedikit di gunting. Dr. Hari menginformasikan bahwa bagian bawah akan sedikit digunting. Kemudian aku diminta untuk mengejan lagi, dengan dibantu suntikan untuk memperkuat kontraksi. Suntikan sudah tidak terasa sakitnya. Aku sudah tidak bisa berpikir. Suamiku sangat membantu dengan menuntunku mengatur napas dan memintaku membuka mata saat mengejan, serta fokus ke bawah, seperti yang biasa kami latih saat senam hamil. Alhamdulillah, dengan 2 kali ejan bersambung, lahirlah bayi kami. Jam 5.12 menurut RS, jam 5.05 menurut suamiku bayi kami lahir. Langsung ku dengar tangisan keras dan dibersihkan oleh suster dan langsung diletakan di dadaku (IMD). Kurasakan bayiku masih merasakan apa yang ibunya rasakan. Saat dokter menjahit sobekan dan aku kaget, kurasakan bayiku juga kaget. Dr. mengatakan persalinanku sangat lancar “Andaikan semua persalinan seperti ini.” Puji syukur ya Allah bayiku sehat J Aku mendapat 10 jahitan, meskipun dibius tetap saja kurasakan seperti ada ganjalan dan kurang nyaman saat dijahit, terutama saat akhir  ketika jahitan diikat. Dokter kemudian memeriksa bekas plasenta yang masih tertinggal dengan menekan perutku.
Tidak lama kemudian, okasan, otosan (mertuaku) dan Jiro (adik iparku) datang. Ibu mertua yang ingin mendampingi saat melahirkan, ternyata hanya bisa melihat cucunya sudah bersih dimandikan.  Tak lama setelah itu, papa dan mamaku datang. Papaku datang dengan membawa papan catur karena mengira akan lama menunggu persalinan. Cucu pertama dari kedua belah pihak membuat semuanya sangat excited. Mertuaku langsung memotret setiap detik gerakan cucunya J Tiga hari kami menginap di RSIA Kemang Medical Care, di kamar Rusa. Banyak tamu yang datang memberi selamat, saudara dan teman yang datang menengok. Dr. laktasi meminta bayi langsung diletakan di dada, meskipun air susu belum keluar. Aku belum tahu apakah air susuku sudah keluar atau belum. Malam pertama ketika semua tamu sudah pulang, tinggal aku dan suamiku, kami bingung harus melakukan apa saat Vara menangis. Ketika Vara BAB aku dan suamiku bingung karena belum tahu cara mengurus bayi. Apalagi saat itu kotoran Vara hitam dan lengket seperti kotoran burung.  Untung masih di RS, sehingga kami belajar dari suster cara membersihkan kotoran bayi, memandikan dan membedong. Di hari Jumat dr. Agung mengatakan kami sudah bisa pulang bila aku sudah BAB.  Meskipun  aku sudah BAB, ternyata Vara kuning, sehingga harus disinar selama 6 jam. Proses sinar membuat bayi dehidrasi, sehingga aku terpaksa harus memompa ASI untuk memenuhi kebutuhannya. Setiap 2 jam, aku harus mengirimkan 120 cc. Padahal ASI ku belum keluar banyak. Setelah 6 jam, ternyata Vara masih kuning. Akhirnya, diperpanjang sinar sampai 12 jam, dan kami menandatangani surat memperbolehkan Vara diberikan sufor. Besoknya, hari Sabtu kadar kuning Vara baru turun, dijemput okasan dan Jiro barulah kami pulang ke rumah.
 Sekarang Vara sudah hampir 1 bulan, alhamdulillah kami sampai saat ini tidak begadang karena Vara bangun biasanya hanya 2 kali semalam untuk pup dan mimi. Vara lahir dengan berat 2,6 kg dan panjang 48 cm. Awalnya kulit Vara keriput-keriput, sampai salah seorang keponakan dengan polosnya bilang kalo Vara seperti ET (mahkluk luar angkasa yang difilmkan oleh Steven Spielberg). Sekarang Vara sudah lebih gendut, dengan pipi yang gembil. Semoga Vara tumbuh menjadi anak sehat dan baik.
                                               Vara saat baru lahir