22 Agustus 2013
Alhamdulillah telah lahir putri pertama kami, yang
diberinama Ryuvara Arunada Danusastro. Nama tersebut diambil dari bahasa
Sangsekerta, dari buku yang sama dengan buku yang dipakai oleh orangtuaku untuk
memberinama aku dan adikku belasan dan puluhan tahun yang lalu. Putri kami
lahir pada hari Rabu, 24 Juli 2013, jam 5.12 di RSIA Kemang Medical Care
-Jakarta.
Vara saat dibersihkan suster
Vara saat dibersihkan suster
Tanggal tersebut sangat sesuai dengan HPL, tepat
saat kandunganku berusia 40 minggu. Sejak hari Senin pagi, 22 Juli 2013 aku
menemukan bercak darah di celana dalam. Kugunakan pembalut, dan saat bangun
dari tidur siang, bercak semakin bertambah. Ku SMS dokter Agung –dokter kandunganku di RSIA KMC-
memberitahukan terkait bercak ini, meskipun aku bilang kontraksi yang kurasakan
belum teratur. Dr. Agung memintaku segera ke RS, langsung ke ruang persalinan
untuk dicek apakah kontraksiku memang sesuai harapan, kontraksi menjelang
persalinan. Langsung kutelepon suamiku di kantor dan minta untuk segera diantar
ke RS. Sore itu kami langsung ke ruang persalinan, aku di cek menggunakan CTG
dan ternyata belum ada kontraksi menjelang persalinan. Saat pemeriksaan serviks, ternyata baru bukaan setengah. Malam itu kami sempat
belanja dahulu di Tip Top Ciputat karena keperluan rumah tangga memang sudah
banyak yang habis. Sekalian aku jalan-jalan untuk mempercepat bukaan.
Besok paginya sehabis suamiku sahur, kurasakan
kontraksi semakin beraturan, dan semakin tinggi intensitasnya. Hampir setiap 10
menit sekali. Siap-siap, kami mandi, bahkan aku sempat dandan dan bergurau
“Kris Dayanti aja dandan pol pas mau ngelahirin.” Tas yang sudah aku persiapkan
sejak 36 weeks, bantal, guling dan ransum (makanan kecil dan minuman) langsung
dibawa. Suamiku mengira hari itu, 23 Juli 2013 bayi kami akan lahir. Aku pikir
dengan kontraksi seperti itu, aku sudah bukaan 3 atau 4. Sesampainya di RS,
petugas langsung membawaku dengan kursi roda dan kembali lagi ke ruang
persalinan. Hasil CTG memperlihatkan kontraksiku sudah semakin bertambah, yang
sebelumnya tercatat sekitar 20-30 an, meningkat menjadi 70-80 an, namun
intensitas kontraksi menjelang persalinan umumnya sekitar 1 menit, sedangkan
kontraksiku baru sekitar 20 detik. Ketika diperiksa serviks, ternyata baru
bukaan 1. OMG, aku langsung shock, membayangkan sakitnya bukaan 2 dan seterusnya.
Bukaan 1 saja rasanya sudah dahsyat sekali. Apalagi pemeriksaan serviks yang
dilakukan oleh suster saat ini lebih kasar dan sakit dibandingkan suster
sebelumnya. Aku semakin merasa down saat suster bilang kalau bisa makan dan
ketawa tandanya belum mendekati persalinan. Aku diminta pulang oleh suster, dan
diminta check up lagi besok sesuai dengan jadwal. Tak puas karena tidak bertemu langsung dengan dokter,
aku kemudian mengantri lagi untuk check up dokter. Kontraksi masih
sama, kurasakan 10 menit sekali. Saat itu sekitar pukul 7 pagi, padahal dokter
baru datang sekitar jam 10. Karena dokter belum datang aku dan suami memutuskan
untuk menunggu di mobil karena kami mengantuk sejak subuh sudah di RS. Aku
mulai tidak bisa tidur karena semakin kuatnya intensitas kontraksi.
Di ruang pemeriksaan, saat bertemu dengan dokter
Agung, tak tahan aku mengeluarkan air mata dan bilang ke dr. kalau kontraksiku
sakit sekali. Sebenarnya aku lebih merasa down karena omongan suster membayangkan
bagaimana rasanya bukaan 2 dan selanjutnya, mengingat saat itu terasa dasyat
sekali dan ternyata baru bukaan 1. Aku memang masih bisa makan dengan lahap dan
tertawa, tapi apakah hanya itu indikatornya? Penjelasan dr. Agung cukup
menenangkanku. Dr Agung bilang bahwa memang toleransi terhadap rasa sakit
setiap orang berbeda-beda, namun belum tentu ketika bukaan bertambah rasa sakit
yang dirasakan juga semakin meningkat. Pemeriksaan USG diketahui bahwa posisi
bayi masih sama seperti saat pemeriksaan 39 weeks, belum turun panggul. Mata, hidung
dan mulut bayi masih terlihat. Plasenta dan air ketuban dinilai masih cukup
baik, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Saat diperiksa serviks dr. bilang
aku masih bukaan 1. Dr. Agung meminta aku tetap tinggal di RS dan di observasi
selama 6 jam. Diminta untuk sering jalan-jalan untuk meningkatkan kontraksi.
Kembali ke ruang persalinan (ruang observasi) aku
langsung dengan lahap menyantap makan siang. Untung aku membawa buku komik tentang
biografi GusDur yang bisa sedikit mengusir kebosanan di RS. Sekedar tips untuk
yang hendak melahirkan, jangan lupa bawa buku bacaan atau games supaya tidak
bosan. 2 jam pertama sehabis makan, aku tidur di ruang observasi, kadang ngemil
coklat dan minum air. Baca-baca, kemudian aku jalan-jalan di lorong RS. Balik
dari jalan-jalan, ternyata ada yang
hendak melahirkan. Ruanganku dipindah ke ruang sebelah. Kulihat seorang calon
ibu dengan muka pucat yang kudengar dari suster sudah bukaan 9, masuk ke ruang bersalin.
Tak lama terdengar suara bayi. Subhanallah, aku merasa sangat lega mendengar
tangis bayi. Ingin rasanya cepat-cepat aku juga mendengar tangis bayiku. Di
ruang observasi baruku, ada juga seorang calon ibu yang ku dengar sudah masuk
41 weeks. Awal aku masuk, aku dengar si calon ibu dikunjungi temannya, dan
mereka masih ketawa-ketiwi dan bercerita tentang kehamilan dan pekerjaan
mereka. Si calon ibu ini diinduksi karena bayinya tidak mau keluar-keluar,
padahal sudah lewat HPL. Kira-kira sejam berselang, teman si calon ibu sudah
pulang dan kudengar sepi di ruang sebelah yang hanya dibatasi oleh tirai. Tidak
lama kemudian kudengar si ibu mengadu kepada dr. Hari (dokternya ibu ini) bahwa
dia merasa tidak tahan, sakit sekali.
Berada di ruang observasi dan menyaksikan calon
ibu lain yang hendak bersalin ternyata menambah kelelahan mental buatku.
Apalagi saat 6 jam berlalu dan dr. Agung kembali memeriksa serviksku, ternyata
bukaan masih 1 dan belum bertambah. Bahkan kontraksiku semakin jarang dibanding
saat pagi hari. Hasil jalan-jalanku entah bagaimana justru membuat kontraksi
semakin jarang, dan membuatku semakin bisa mentoleransi rasa sakit. Aku
disarankan untuk pulang saja. Perkiraan dr. kemungkinan kelahiran lebih dari
tanggal HPL, namun dr. Agung meminta untuk tidak bosan segera ke RS bila kontraksi
sudah lebih teratur kira-kira 5 menit sekali dengan durasi kira-kira 1 menit,
atau 3 kali dalam 10 menit. “Kira-kira hari Jumat atau Sabtu bu, kalau tidak
lahir juga, akan diinduksi”. Sore itu mama dan mertuaku datang ke RS. Mengira
cucu mereka akan segera lahir. Mama dan ibu mertua menyarankan untuk tinggal di
RS saja. Namun karena dr. memperkirakan masih Jumat atau Sabtu kemungkinannya,
dan merasa lebih nyaman di rumah, aku dan suami memutuskan untuk pulang. Akhirnya
kami semua hanya makan malam sekalian buka puasa bersama di warung soto dekat
RS. Sakit kontraksi masih teratur kurasakan.
Di rumah aku meminta suamiku untuk searching
terkait dengan sakit kontraksi dan cara-cara untuk mempercepat kontraksi. Hasil
searching yang ditemukan rata-rata sudah hapal kuketahui, banyak jalan, ngepel
jongkok dll. Hasil searching itu membuat suamiku memaksaku untuk terus
beraktifitas. Malam itu aku berusaha untuk membantu suamiku menyetrika, tapi
aku sudah tak sanggup. Saat mandi, aku
benar-benar menangis dan berdoa memohon kemudahan dalam proses persalinan, aku
memohon kekuatan dan kebijaksanaan. Aku juga ngobrol dengan bayiku “Baby tolong
lahir pas HPL ya, lahir tanggal 24 Juli. Kalau bisa jangan sampai mama
diinduksi dan di caesar. Kalau bisa normal saja.” Tapi aku mohon kepasrahan
untuk menerima apapun ketetapan Tuhan. Malam itu kira-kira jam 11 aku mulai merasakan
kontraksi yang teratur. Namun rasanya berbeda dengan kontraksi sebelumnya.
Sebelumnya sakit di perut, namun kali ini sakitnya di belakang punggung. Serasa
ingin pup. Kontraksi ini teratur kurasakan sampai kira-kira jam 4 pagi. Kuminta
suamiku mencatat kontraksi dengan aplikasi kontraksi yang sudah di
downloadnya di smartphone. Awalnya
kontraksi sekitar 10 menit sekali, lama-lama sekitar 5 menit. Di sela-sela itu
suamiku bilang aku masih bisa ngorok tertidur, meskipun rasanya aku tidak bisa
ternyenyak tidur. Saat kontraksi datang, kuremas-remas tangan suamiku. Dari
awalnya di remas, seiiring dengan bertambahnya intensitas kontraksi, kugigit
tangannya. Dari yang awalnya teriak, sampai akhirnya suami pasrah dan dengan
sukarela memberikan tangannya. Untunglah kami memutuskan untuk pulang ke rumah,
karena di rumah suamiku bisa santai menemaniku sambil bermain PS. Sekitar jam 4
pagi, aku semakin merasa tidak tahan, dan sudah ingin mengejan. Saat sahur itu,
mamaku menelepon dan menanyakan keadaanku. Aku berteriak supaya mama menutup
telp segera karena kontraksiku datang, dan aku butuh tangan suamiku untuk
kuremas, dan pertolongannya untuk memijat punggungku. Suamiku lalu memeriksa
bagian pantat, ternyata sudah basah, sepertinya ketuban sudah merembes.
Suamiku langsung menyuruhku bersiap ke RS. Saat
itu aku sudah tidak bisa berpikir. Rasanya lebih baik secepatnya mengejan,
sampai aku bilang ke suami untuk memanggil bidan di dekat rumah saja. Tanpa
mandi, apalagi berdandan, aku langsung masuk ke mobil. Suamiku langsung ganti
baju, dan membawa segala keperluan yang terpikir. Aku sudah tidak mampu
melakukan apapun selain duduk dan membawa guling. Begitu masuk mobil aku
langsung tiduran di belakang dengan bantal guling dan selimut. Aku berteriak
meminta suamiku hati-hati ketika kontraksi datang dan mobil melewati jeglukan.
Ciputat- Kemang hanya 10 menit di pagi itu.
Begitu sampai di RS, aku langsung didorong dengan
kursi roda. Petugas pendorong kursi memintaku untuk menarik napas teratur.
Dengan tidak tahu diri, petugas itu aku
minta untuk memijit punggungku karena rasanya sakit sekali. Mungkin karena
menurut dr. letak rahimku di belakang, sehingga sakit persalinan kurasakan
sangat menekan di bagian punggung. Begitu sampai di ruang persalinan, suster
memintaku untuk berbaring dan akan melakukan prosedur CTG. Aku meminta untuk
dilakukan pemeriksaan serviks dulu untuk mengetahui bukaan sebelum CTG karena rasanya aku sudah mau
mengejan. Suster memeriksa dan mengatakan sudah bukaan 4 dan segera menelepon
ke dr. Agung. CTG tidak jadi dilakukan. Suamiku langsung menelepon mama dan okasan (ibu mertuaku) mengatakan aku
sudah di ruang bersalin RS dan perkiraan lahir sekitar jam 10 pagi.
Namun beberapa saat kemudian, kulihat di sebelah
kananku pisau dan peralatan persalinan sudah disiapkan. Suster menginformasikan bahwa dr. Agung masih
di RSPAD, sehingga proses persalinan akan digantikan oleh dr. Hari yang
sebelumnya baru saja membantu persalinan jam 2 pagi. Dasterku langsung diganti
baju rumah sakit, dan tidak beberapa lama kemudian, dr. Hari datang dan
mengatakan aku segera akan melahirkan. Dokter menanyakan sedikit tentang
riwayat kehamilanku. Ternyata ketika tiba di RS aku sudah bukaan 7. Entah
karena takut aku panik, suster berbohong bahwa aku baru bukaan 4. Ketubanku lalu dipecahkan dengan hanya sekali
tusukan dengan gunting (rasanya sih seperti itu karena aku sudah tidak bisa
melihat apa yang terjadi). Terasa air mengalir. Suster mengatakan tunggu
perintah dr. untuk mengejan, baru aku boleh mengejan ketika kontraksi datang.
Namun, aku sudah tidak tahan, aku mengejan dan ternyata aku pipis. Suster
meminta aku untuk istigfar dan berzikir. Ketika kontraksi datang, tidak lama
aku diminta untuk mengejan. Ternyata
kepala bayi tidak muat, sehingga sedikit di gunting. Dr. Hari
menginformasikan bahwa bagian bawah akan sedikit digunting. Kemudian aku
diminta untuk mengejan lagi, dengan dibantu suntikan untuk memperkuat
kontraksi. Suntikan sudah tidak terasa sakitnya. Aku sudah tidak bisa berpikir.
Suamiku sangat membantu dengan menuntunku mengatur napas dan memintaku membuka
mata saat mengejan, serta fokus ke bawah, seperti yang biasa kami latih saat
senam hamil. Alhamdulillah, dengan 2 kali ejan bersambung, lahirlah bayi kami.
Jam 5.12 menurut RS, jam 5.05 menurut suamiku bayi kami lahir. Langsung ku
dengar tangisan keras dan dibersihkan oleh suster dan langsung diletakan di
dadaku (IMD). Kurasakan bayiku masih merasakan apa yang ibunya rasakan. Saat
dokter menjahit sobekan dan aku kaget, kurasakan bayiku juga kaget. Dr.
mengatakan persalinanku sangat lancar “Andaikan semua persalinan seperti ini.” Puji
syukur ya Allah bayiku sehat J Aku mendapat 10 jahitan, meskipun dibius tetap saja kurasakan seperti ada
ganjalan dan kurang nyaman saat dijahit, terutama saat akhir ketika jahitan diikat. Dokter kemudian
memeriksa bekas plasenta yang masih tertinggal dengan menekan perutku.
Tidak lama kemudian, okasan, otosan (mertuaku) dan
Jiro (adik iparku) datang. Ibu mertua yang ingin mendampingi saat melahirkan,
ternyata hanya bisa melihat cucunya sudah bersih dimandikan. Tak lama setelah itu, papa dan mamaku datang.
Papaku datang dengan membawa papan catur karena mengira akan lama menunggu
persalinan. Cucu pertama dari kedua belah pihak membuat semuanya sangat
excited. Mertuaku langsung memotret setiap detik gerakan cucunya J Tiga hari kami menginap di RSIA Kemang Medical
Care, di kamar Rusa. Banyak tamu yang datang memberi selamat, saudara dan teman
yang datang menengok. Dr. laktasi meminta bayi langsung diletakan di dada,
meskipun air susu belum keluar. Aku belum tahu apakah air susuku sudah keluar
atau belum. Malam pertama ketika semua tamu sudah pulang, tinggal aku dan
suamiku, kami bingung harus melakukan apa saat Vara menangis. Ketika Vara BAB
aku dan suamiku bingung karena belum tahu cara mengurus bayi. Apalagi saat itu
kotoran Vara hitam dan lengket seperti kotoran burung. Untung masih di RS, sehingga kami belajar dari
suster cara membersihkan kotoran bayi, memandikan dan membedong. Di hari Jumat
dr. Agung mengatakan kami sudah bisa pulang bila aku sudah BAB. Meskipun
aku sudah BAB, ternyata Vara kuning, sehingga harus disinar selama 6 jam.
Proses sinar membuat bayi dehidrasi, sehingga aku terpaksa harus memompa ASI
untuk memenuhi kebutuhannya. Setiap 2 jam, aku harus mengirimkan 120 cc.
Padahal ASI ku belum keluar banyak. Setelah 6 jam, ternyata Vara masih kuning.
Akhirnya, diperpanjang sinar sampai 12 jam, dan kami menandatangani surat
memperbolehkan Vara diberikan sufor. Besoknya, hari Sabtu kadar kuning Vara
baru turun, dijemput okasan dan Jiro barulah kami pulang ke rumah.
Sekarang Vara
sudah hampir 1 bulan, alhamdulillah kami sampai saat ini tidak begadang karena
Vara bangun biasanya hanya 2 kali semalam untuk pup dan mimi. Vara lahir dengan
berat 2,6 kg dan panjang 48 cm. Awalnya kulit Vara keriput-keriput, sampai
salah seorang keponakan dengan polosnya bilang kalo Vara seperti ET (mahkluk
luar angkasa yang difilmkan oleh Steven Spielberg). Sekarang Vara sudah lebih
gendut, dengan pipi yang gembil. Semoga Vara tumbuh menjadi anak sehat dan baik.
Vara saat baru lahir
Vara saat baru lahir