Banyaknya kasus dan
pembahasan di media dan di beberapa milis yang saya ikuti akhir-akhir ini,
membawa saya pada pencarian terkait antara gap antara sholat dan perilaku. Beberapa penelitian psikologi menunjukkan tidak adanya keterkaitan antara agama dan perilaku.
Apakah benar demikian? Apakah ajaran agamanya yang salah? Apakah metode pengajaran agamanya yang salah? Atau memang manusia yang kurang memahami
agamanya? Kita lihat di media banyak diberitakan orang-orang yang beragama (khususnya Islam) tapi
berperilaku yang kurang baik, korupsi, berperilaku anarkhis. Katanya departemen yang paling korup di Indonesia adalah Departemen Agama.
Pencarian ini
membawa saya pada 1 kesimpulan yang cukup memuaskan saya. Di dalam Al Quran
jelas tertulis bahwa "Sholat itu sesungguhnya mencegah perbuatan keji dan
mungkar." Tapi kok kalo melihat kasus di atas sepertinya hal tersebut jelas terbantahkan. Hipotesis di tolak, sampai-sampai ada istilah STMJ untuk orang
Indonesia (Sholat Terus Maksiat Jalan). Ternyata menurut saya, yang kurang
dipahami adalah makna sholat. Sholat yang selama ini dipahami mungkin hanya
sebatas sholat wajib atau sholat lainnya
yang harus menghadap kiblat ke Mekah (Ka'bah) serta ada waktunya yang
bisa diundurkan atau dimajukan, disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Shalat
biasa yang hanya dibatasi ruang (harus menghadap kiblat Ka'bah) dan
keterbatasan waktu. Sholat sebenarnya adalah sholat yang kekal, yang tidak
dibatasi ruang dan waktu. Ruh kitalah yang senantiasa sujud kepada Allah
dimanapun, kapanpun dan dalam situasi apapun.
Wudunya adalah wudu perbuatan yaitu apapun yang dilakukan semata-mata
atas dasar ibadah kepada Allah, tulus dan ikhlas, bukan karena takut neraka
ataupun mengharapkan surga, namun hanya mengharapkan keridhaan Allah semata.
Bila manusia batin (ruhnya) baik, perilakunya juga baik. Sehingga memang benar
bahwa "Sesungguhnya (makna) Sholat itu dapat mencegah perbuatan keji dan
mungkar."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar